Halaman

Jumat, 26 Agustus 2011

Pengaruh Kebisingan, Temperatur dan Pencahayaan Terhadap Performa Karyawan


Setiap hari manusia terlibat pada suatu kondisi lingkungan kerja yang berbeda-beda dimana perbedaan kondisi tersebut sangat mempengaruhi terhadap kemampuan manusia. Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik dan mencapai hasil yang optimal apabila lingkungan kerjanya mendukung. Manusia akan mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik apabila ditunjang oleh lingkungan kerja yang baik. Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan sebagai lingkungan kerja yang baik apabila manusia bisa melaksanakan kegiatannya dengan optimal dengan sehat, aman dan selamat. Ketidakberesan lingkungan kerja dapat terlihat akibatnya dalam waktu yang lama. Lebih jauh lagi keadaan lingkungan yang kurang baik dapat menuntut tenaga dan waktu yang lebih banyak yang tentunya tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien dan produktif.
Lingkungan kerja yang nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk dapat bekerja secara optimal dan produktif, oleh karena itu lingkungan kerja harus ditangani dan atau di desain sedemikian sehingga menjadi kondusif terhadap pekerja untuk melaksanakan kegiatan dalam suasana yang aman dan nyaman. Evaluasi lingkungan dilakukan dengan cara pengukuran kondisi tempat kerja dan mengetahui respon pekerja terhadap paparan lingkungan kerja.
Di dalam perencanaan dan perancangan sistem kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan kerja seperti, kebisingan, pencahayaan, suhu dan lain-lain. Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik apabila dalam kondisi tertentu manusia dapat melaksanakan kegiatannya dengan optimal. Ketidaksesuaian lingkungan kerja dengan manusia yang bekerja pada lingkungan tersebut dapat terlihat dampaknya dalam jangka waktu tertentu.
Faktor lingkungan kerja, alat, dan cara sangat berpengaruh terhadap produktivitas. Dalam usaha mendapatkan produktivitas yang tinggi, maka faktor-faktor tersebut harus serasi terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia pekerja. Secara skemetis alurpikir tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas kerja dapat diilustrasikan pada gambar di bawah ini. Digambarkan bahwa faktor lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap performansi kerja yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produktivitas pekerja.
Dalam suatu lingkungan kerja, manusia mempunyai peranan sentral kerja dimana manusia berperan sebagai perencana dan perancang suatu sistem kerja disamping manusia harus berinteraksi dengan sistem untuk dapat mengendalikan proses yang sedang berlangsung pada sistem kerja secara keseluruhan. Manusia sebagai salah satu komponen dari suatu sistem kerja merupakan bagian yang sangat kompleks dengan berbagai macam sifat, keterbatasan dan kemampuan yang dimilikinya. Namun demikian usaha untuk memahami tingkah laku manusia, khususnya tingkah laku kerja manusia tidak dapat dilakukan hanya dengan memahami kondisi fisik manusia saja. Kelebihan dan keterbatasan kondisi fisik manusia memang merupakan faktor yang harus diperhitungkan, tetapi bukan satu-satunya faktor yang menentukan produktivitas kerja.
Lingkungan kerja yang baik dan sesuai dengan kondisi manusia (pekerja) tentu saja akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pekerja itu sendiri dan tentu saja terhadap produktivitas kerja yang dihasilkan. Oleh karena itu perancangan lingkungan kerja yang baik dan optimal sangat diperlukan. Berikut ini penjelasan mengenai faktor-faktor fisik lingkungan kerja. Kondisi yang ergonomis, yaitu lingkungan kerja yang memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pekerja. Rasa nyaman sangat penting secara biologis karena akan mempengaruhi kinerja pada organ tubuh manusia ketika sedang bekerja. Penyimpangan dari batas kenyamanan akan menyebabkan perubahan secara fungsional yang pada akhirnya berpengaruh pada fisik maupun mental pekerja.
Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik dan mencapai hasil yang optimal apabila lingkungan kerjanya mendukung. Kondisi kualitas lingkungan yang baik akan memberikan rasa nyaman dan sehat yang mendukung kinerja dan produktivitas manusia.
Kualitas lingkungan kerja yang baik dan sesuai dengan kondisi manusia sebagai pekerja akan mendukung kinerja dan produktivitas kerja yang dihasilkan. Pengendalian dan penanganan faktor-faktor lingkungan kerja seperti kebisingan, temperatur, getaran dan pencahayaan merupakan suatu masalah yang harus ditangani secara serius dan berkesinambungan. Suara yang bising, temperatur yang panas getaran dan pencahayaan yang kurang di dalam tempat kerja merupakan salah satu sumber yang mengakibatkan tekanan kerja dan penurunan produktivitas kerja.
Kebisingan
Kebisingan adalah salah satu polusi yang tidak dikehendaki manusia. Dikatakan tidak dikehendaki karena dalam jangka panjang, bunyi-bunyian tersebut akan dapat mengganggu ketenangan kerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan komunikasi bahkan kebisingan yang serius dapat mengakibatkan kematian. Semakin lama telinga mendengar kebisingan, makin buruk pula dampak yang diakibatkannya, diantaranya adalah pendengaran dapat semakin berkurang
Seseorang cenderung mengabaikan bising yang dihasilkannya sendiri apabila bising yang ditimbulkan tersebut secara wajar menyertai pekerjaan, seperti bising mesin ketik atau mesin kerja. Sebagai patokan, bising yang hakekatnya mekanik atau elektrik, yang disebabkan kipas angin, transformator, motor, selalu lebih mengganggu daripada bising yang hakekatnya alami (angin, hujan, air terjun dan lain-lain).
Pengukuran kebisingan dilakukan dengan menggunakan sound level meter. Prinsip kerja alat ini adalah dengan mengukur tingkat tekanan bunyi. Tekanan bunyi adalah penyimpangan dalam tekanan atmosfir yang disebabkan oleh getaran partikel udara karena adanya gelombang yang dinyatakan sebagai amplitudo dari fluktuasi tekanan. Jika kita mengukur bunyi dengan satuan Pa ini, maka kita akan memperoleh angka-angka yang sangat besar dan susah digunakan. Skala decibell ini hampir sesuai dengan tanggapan manusia terhadap perubahan kekerasan bunyi, yang secara kasar sebanding dengan logaritma energi bunyi. Ini berarti bahwa energi bunyi yang sebanding dengan 10, 100, dan 1000 akan menghasilkan ditelinga pengaruh yang subyektif sebanding dengan logaritmanya, yaitu masing-masing 1, 2, dan 3. Bila skala logaritma ini dikalikan dengan 10 maka diperoleh skala decibell. Skala decibell ini menggunakan referensi ambang batas kemampuan dengar 20 mPa. Tingkat tekanan bunyi dari berbagai bunyi yang sering kita jumpai dinyatakan dalam skala Pa dan dB.
Hal-hal yang terkait dengan kebisingan mengenai sumber bising, pengukuran, dan pengaruhnya, serta pengendalian kebisingan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sumber-sumber bising,
Sumber bising dalam pengendalian kebisingan lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Bising interior,
Bising yang berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga atau mesin-mesin gedung yang antara lain disebabkan oleh radio, televisi, alat-alat musik, dan juga bising yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang ada digedung tersebut seperti kipas angin, motor kompresor pendingin, pencuci piring dan lain-lain.
b. Bising eksterior,
Bising yang dihasilkan oleh kendaraan transportasi darat, laut, maupun udara, dan alat-alat konstruksi. Dalam dunia industri jenis-jenis bising yang sering dijumpai antara lain meliputi:
Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang luas. Misalkan suara yang ditimbulkan oleh mesin bubut, mesin frais, kipas angin, dan lain-lain.

Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang sempit. Misalkan bising yang dihasilkan oleh suara mesin gergaji, katup gas, dan lain-lain.

Bising terputus-putus (intermittent). Misal suara lalu lintas, suara kapal terbang.

Bising impulsive seperti pukulan palu, tembakan pistol, dan lain-lain.
Sifat suatu kebisingan ditentukan oleh intensitas suara, frekuensi suara, dan waktu terjadinya kebisingan. ketiga faktor diatas juga dapat menentukan tingkat gangguan terhadap pendengaran manusia. Kebisingan yang mempunyai frekuensi tinggi lebih berbahaya daripada kebisingan dengan frekuensi lebih rendah. Dan semakin lama terjadinya kebisingan disuatu tempat, semakin besar akibat yang ditimbulkannya. Disamping itu juga terdapat faktor lain yang perlu diperhatikan dalam melakukan studi tentang kebisingan, faktor tersebut berupa bentuk kebisingan yang dihasilkan, berbentuk tetap atau terus-menerus (steady) atau tidak tetap (intermittent).
Kerusakan pendengaran manusia terjadi karena pengaruh kumulatif exposure dari suara diatas intensitas maksimal dalam jangka waktu lebih lama dari waktu yang diijinkan untuk tingkat kebisingan yang bersangkutan.
2. Pengukuran tingkat kebisingan,
Sumber kebisingan di perusahaan biasanya berasal dari mesin-mesin untuk proses produksi dan alat-alat lain yang dipakai untuk melakukan pekerjaan. Sumber-sumber tersebut harus diidentifikasi dan dinilai kehadirannya agar dapat dipantau sedini mungkin dalam upaya mencegah dan mengendalikan pengaruh paparan kebisingan terhadap pekerja yang terpapar. Dengan demikian penilaian tingkat intensitas kebisingan di perusahaan secara umum dimaksudkan untuk beberapa tujuan, yaitu:
a. Memperoleh data intensitas kebisingan pada sumber suara.
b. Memperoleh data intensitas kebisingan pada penerima suara (pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan).
c. Menilai efektivitas sarana pengendalian kebisingan yang telah ada dan merencanakan langkah pengendalian lain yang lebih efektif.
d. Mengurangi tingkat intensitas kebisingan baik pada sumber suara maupun pada penerima suara sampai batas diperkenankan.
e. Membantu memilih alat pelindung dari kebisingan yang tepat sesuai dengan jenis kebisingannya.
Setelah intensitas dinilai dan dianalisis, selanjutnya hasil yang diperoleh harus dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dengan tujuan untuk mengetahui apakah intensitas kebisingan yang diterima oleh pekerja sudah melampaui Nilai Ambang Batas (NAB) yang diperkenankan atau belum. Dengan demikian akan dapat segera dilakukan upaya pengendalian untuk mengurangi dampak pemaparan terhadap kebisingan. NAB kebisingan di tempat kerja berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 51/MEN/1999 yang merupakan pembaharuan dari Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01/MEN/1978, dan Keputusan Menteri Kesehatan No: 405/Menkes/SK/XI/2002 besarnya rata-rata 85 dB-A untuk batas waktu kerja terus-menerus tidak lebih dari 8 jam atau 40 jam seminggu. Selanjutnya apabila tenaga kerja menerima pemaparan kebisingan lebih dari ketetapan tersebut, maka harus dilakukan pengurangan waktu pemaparan.
3. Pengaruh kebisingan,
Pengaruh pemaparan kebisingan secara umum dapat dikategorikan menjadi dua berdasarkan tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensias tinggi (diatas NAB) dan kedua, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah (di bawah NAB), yaitu:
a. Pengaruh kebisingan intensitas tinggi, sebagai berikut:
Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi adalah terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen atau ketulian.

Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya terputus-putus dan sumber kebisingannya tidak diketahui.

Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti: meningkatnya tekanan darah dan tekanan jantung, resiko serangan jantung meningkat, dan gangguan pencernaan.

Reaksi masyarakat, apabila kebisingan dari suatu proses produksi demikian hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya menuntut agar kegiatan tersebut dihentikan.
b. Pengaruh kebisingan intensitas tingkat rendah,
Tingkat intensitas kebisingan rendah banyak ditemukan di lingkungan kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan, dan lain-lain. Intensitas kebisingan yang masih dibawah NAB tersebut secara fisiologis tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering dapat menyebabkan penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan karena pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan dan depresi. Secara spesifik stres karena kebisingan dapat menyebabkan dampak, yaitu:
Stres menuju keadaan cepat marah, sakit kepala, dan gangguan tidur.

Gangguan reaksi psikomotor.

Kehilangan konsentrasi.

Penurunan performansi kerja yang dapat menimbulkan kehilangan efisiensi dan produktivitas kerja.
4. Rencana dan langkah pengendalian kebisingan di tempat kerja,
Sebelum dilakukan langkah pengendalian kebisingan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat rencana pengendalian yang didasarkan pada hasil penilaian kebisingan dan damapak yang ditimbulkan. Rencana pengendalian dapat dilakukan dengan pendekatan melalui perspektif manajemen resiko kebisingan. Manajemen resiko yang dimaksud adalah suatu pendekatan yang logik dan sistemik untuk mengendalikan resiko yang mungkin timbul.
Langkah manajemen resiko kebisingan tersebut, yaitu:
a. Mengidentifikasi sumber-sumber kebisingan yang berada di tempat kerja.
b. Menilai resiko kebisingan yang berakibat serius terhadap penyakit dan cedera akibat kerja.
c. Mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk mengendalikan atau meminimasi resiko kebisingan.
Setelah rencana dibuat seksama, langkah selanjutnya adalah melaksanakan rencana pengendalian kebisingan degan dua arah pendekatan, yaitu pendekatan jangka pendek (Short-term gain) dan pendekatan jangka panjang (Long-term gain) dari hirarki pengendalian. Pada pengendalian kebisingan dengan orientasi jangka panjang, teknik pengendaliannya secara berurutan adalah mengeliminasi sumber kebisingan secara teknik, secara administratif, dan penggunaan alat pelindung diri. Sedangkan untuk orientasi jangka pendek adalah sebaliknya secara berurutan.
a Eliminasi sumber kebisingan,
Pada teknik eliminasi ini dapat dilakukan dengan penggunaan tempat kerja atau pabrik baru sehingga biaya pengendalian dapat diminimalkan.

Pada tahap tender mesin-mesin yang akan dipakai, harus mensyaratkan maksimum intensitas kebisingan yang dikeluarkan dari mesin baru.

Pada tahap pembuatan pabrik dan pemasangan mesin, konstruksi bangunan harus dapat meredam kebsisingan serendah mungkin.
b Pengendalian kebisingan secara teknik,
Pengendalian kebisingan pada sumber suara. Penurunan kebisingan pada sumber suara dapat dilakukan dengan menutup mesin atau mengisolasi mesin sehingga terpisah dengan pekerja. Teknik ini dapat dilakukan dengan mendesain mesin memakai remote control. Selain itu dapat dilakukan redesain landasan mesin dengan bahan anti getaran. Namun demikian teknik ini memerlukan biaya yang sangat besar sehingga dalam prakteknya sulit di implementasikan.

Pengendalian kebisingan pada bagian transmisi kebisingan. apabila teknik pengendalian pada sumber suara sulit dilakukan, maka teknik berikutnya adalah dengan memberi pembatas atau sekat antara mesin dan pekerja. Cara lain adalah dengan menambah atau melapisi dinding, plafon, dan lantai dengan bahan penyerap suara.
c. Pengendalian kebisingan secara administratif,
Apabila teknik pengendalian secara teknik belum memungkinkan untuk dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan teknik pengendalian secara administratif. Teknik pengendalian ini lebih difokuskan pada manajemen pemaparan. Langkah yang ditempuh adalah dengan mengatur rotasi kerja antara tempat yang bising dengan tempat yang lebih nyaman yang didasarkan pada intensitas kebisingan yang diterima.
d. Pengendalian pada penerima atau pekerja,
Teknik ini merupakan langkah terakhir apabila teknik pengendalian seperti yang telah dijelaskan diatas belum dimungkinkan untuk dilakukan. Jenis pengendalian ini dapat dilakukan dengan pemakaian alat pelindung telinga (tutup atau sumbat telinga). Menurut Pulat (1992) pemakaian sumbat telinga dapat mengurangi kebisingan sebesar ±30 dB. Sedangkan tutup telinga dapat mengurangi kebisingan sedikit lebih besar 40-50 dB. Pengendalian kebisingan pada penerima ini telah banyak ditemukan di perusahaan-perusahaan, karena secara sekilas biayanya relatif lebih murah. Namun demikian, banyak ditemukan kendala dalam pemakaian tutup atau sumbat telinga seperti, tingkat kedisplinan pekerja, mengurangi kenyamanan kerja, dan mengganggu pembicaraan.
Temperatur
Manusia selalu berusaha mempertahankan keadaan normal tubuh dengan sistem tubuh yang sangat sempurna sehingga dapat menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi diluar tubuhnya. Tubuh manusia menyesuaikan diri karena kemampuannya untuk melakukan proses konveksi, radiasi, dan penguapan juka terjadi kekurangan atau kelebihan yang membebaninya. Tetapi, kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan temperatur luar jika perubahannya tidak melebihi 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin terhadap temperatur normal ± 24 °C.
Temperatur udara lebih rendah dari 37 C berati temparatur dara ini dibawah kemampuan tubuh unutk menyesuaikasn didi (35% dibawah normal), maka tubuh manuasia akan mengalami kedinginan, karena hilangnya panas tubuh yang sebagian besar diakibatkan oleh konveksi dan radiasi, juga sebagian kecil akibat penguapan. Sebaliknya jika temperatur udara terlalu panas dibanding temperatur tubuh, maka tubuh akan menerima panas akibat konveksi dan radiasi yang jauh lebih besar dari kemampuan tubuh untuk mendinginkan tubuhnya malalui sistem penguapan. Hal ini menyebabkan temperatur tubuh menjadi ikut naik dengan tingginya temperatur udara. Temparatur yang terlalu dingin akan mengakibatkan gairah kerja menurun. Sedangkan temperatur udara yang terlampau panas, akan mengakibatkan cepat timbulnya kelelahan tubuh dan cenderung melakukan kesalahan dalam bekerja.
Secara fundamental, ergonomi merupakan studi tentang penyerasian antara pekerja dan pekerjaannya untuk meningkatkan performansi dan melindungi kehidupan. Untuk dapat melakukan penyerasian tersebut kita harus dapat memprediksi adanya stressor yang menyebabkan terjadinya strain dan mengevaluasinya. Mikroklimat dalam lingkungan kerja menjadi sangat penting karena dapat bertindak sebagai stressor yang menyebabkan strain kepada pekerja apabila tidak dikendalikan dengan baik. Mikroklimat dalam lingkungan kerja terdiri dan unsur suhu udara (kering dan basah), kelembaban nisbi, panas radiasi dan kecepatan gerakan udara.
Negara dengan empat musim, rekomendasi untuk comfort zone pada musim dingin adalah suhu ideal berkisar antara 19-23°C dengan kecepatan udara antara 0,1-0,2 m/det dan pada musim panas suhu ideal antara 22-24°C dengan kecepatan udara antara 0,15-0,4 m/det serta kelembaban antara 40-60% sepanjang tahun (WHS, 1992; Grantham, 1992 dan Grandjean, 1993). Sedangkan untuk negara dengan dua musim seperti Indonesia. rekomendasi tersebut perlu mendapat koreksi. Kaitannya dengan suhu panas lingkungan kerja, Grandjean (1993) memberikan batas toleransi suhu tinggi sebesar 35-40°C, kecepatan udara 0,2 m/detik, kelembaban antara 40-50%, perbedaan suhu permukaan <4°C.

Dengan demikian jelas bahwa mikroklimat yang tidak dikendalikan dengan baik akan berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan pekerja dan gangguan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan beban kerja, mempercepat munculnya kelelahan dan keluhan subjektif serta menurunkan produktivitas kerja.
Metode terbaik untuk menentukan apakah tekanan panas di tempat kerja menyebakan gangguan kesehatan adalah dengan mengukur suhu inti tubuh pekerja yang bersangkutan. Normal suhu inti tubuh adalah 37° C, mungkin mudah dilampaui dengan akumulasi panas dan konveksi, konduksi, radiasi dan panas metabolisme. Apabila rerata suhu inti tubuh pekerja >38° C, diduga terdapat pemaparan suhu lingkungan panas yang dapat meningkatkan suhu tubuh tersebut. Selanjutnya harus dilakukan pengukuran suhu lingkungan kerja.
Menurut Sutalaksana, dkk (1979) berbagai tingkat temperatur akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda sebagai berikut:
a. 49 °C: Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh diatas tingkat kemampuan fisik dan mental. Lebih kurang 30° derajat Celcius: aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan. Timbul kelelahan fisik.
b. ± 30 °C: Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan, timbul kelelahan fisik.
c. ± 24 °C: Kondisi optimum.
d. ± 10 °C: Kelakuan fisik yang extrem mulai muncul.
Harga-harga diatas tidak mutlak berlaku untuk setiap orang karena sebenarnya kemampuan beradaptasi tiap orang berbeda-beda, tergantung di daerah bagaimana dia biasa hidup. Orang yang biasa hidup di daerah panas berbeda kemampuan beradaptasinya dibandingkan dengan mereka yang hidup di daerah dingin atau sedang. Tichauer telah menyelidiki pengaruh terhadap produktifitas para pekerja penenunan kapas, yang menyimpulkan bahwa tingkat produksi paling tinggi dicapai pada kondisi temperatur 750F – 800F (240C – 270C).
Nilai Ambang Batas (NAB) untuk iklim kerja adalah situasi kerja yang masih dapat dihadapi tenaga kerja dalam bekerja sehari-hari dimana tidak mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan untuk waktu kerja terus menerus selama 8 jam kerja sehari dan 40 jam seminggu. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 405/Menkes/SK/XI/2002) NAB terendah untuk temperatur ruangan adalah 18° C dan NAB tertinggi adalah 30° pada kelembaban nisbi udara antara 65% sampai dengan 95%.
Pencahayaan
Pencahayaan didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang jatuh pada permukaan. Satuannya adalah lux (1 lm/m2), dimana lm adalah lumens atau lux cahaya. Salah satu faktor penting dari lingkkungan kerja yang dapat memberikan kepuasan dan produktivitas adalah adanya penerangan yang baik. Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan pekerja dapat melihat obyek-obyek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu.
Penerangan yang cukup dan diatur dengan baik juga akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan sehingga dapat memelihara kegairahan kerja. Telah kita ketahui hampir semua pelaksanaan pekerjaan melibatkan fungsi mata, dimana sering kita temui jenis pekerjaan yang memerlukan tingkat penerangan tertentu agar tenaga kerja dapat dengan jelas mengamati obyek yang sedang dikerjakan. Intensitas penerangan yang sesuai dengan jenis pekerjaannnya jelas akan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Sanders dan McCormick (1987) menyimpulkan dari hasil penelitian pada 15 perusahaan, dimana seluruh perusahaan yang diteliti menunjukkan kenaikkan hasil kerja antara 4-35%. Selanjutnya Armstrong (1992) menyatakan bahwa intensitas penerangan yang kurang dapat menyebabkan gangguna visibilitas dan eyestrain. Sebaliknya intensitas penerangan yang berlebihan juga dapat menyebabkan glare, reflections, excessive shadows, visibility dan eyestrain. Semakin halus pekerjaan dan mnyangkut inspeksi serta pengendalian kualitas, atau halus detailnya dan kurang kontras, makin tinggi illuminasi yang diperluka, yaitu antara 500 lux sampai dengan 100 lux (Suma’mur, 1996).
Tenaga kerja disamping harus dengan jelas dapat melihat obyek-obyek yang sedang dikerjakan juga harus dapat melihat dengan jelas pula benda atau alat dan tempat disekitarnya yang mungkin mengakibatkan kecelakaan. Maka penerangan umum harus memadai. Dalam suatu pabrik dimana terdapat banyak mesin dan proses pekerjaan yang berbahaya maka penerangan harus didesain sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi kecelakaan kerja. Pekerjaan yang berbahaya harus dapat diamati dengan jelas dan cepat, karena banyak kecelakaan terjadi akibat penerangan kurang memadai.
Secara umum jenis penerangan atau pencahayaan dibedakan menjadi dua yaitu penerangan buatan (penerangan artifisial) dan penerangan alamiah (dan sinar matahari). Untuk mengurangi pemborosan energi disarankan untuk mengunakan penerangan alamiah, akan tetapi setiap tempat kerja harus pula disediakan penerangan buatan yang memadai. Hal mi untuk menanggulangi jika dalam keadaan mendung atau kerja di malam hari. Perlu diingat bahwa penggunaan penerangan buatan harus selalu diadakan perawatan yang baik oleh karena lampu yang kotor akan menurunkan intensitas penerangan sampai dengan 30%. Tingkat penerangan pada-tiap tiap pekerjaan berbeda tergantung sifat dan jenis pekerjaannya. Sebagai contoh gudang memerlukan intensitas penerangan yang lebih rendah dan tempat kerja administrasi, dimana diperlukan ketelitian yang lebih tinggi.
Menurut Grandjean (1993) penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dan penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan dampak, yaitu:
1. Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan effisiensi kerja.
2. Kelelahan mental.
3. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.
4. Kerusakan indra mata dan lain-lain.
Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan performansi kerja, sebagai berikut:
1. Kehilangan produktivitas
2. Kualitas kerja rendah
3. Banyak terjadi kesalahan
4. Kecelakan kerja meningkat
Intensitas penerangan yang dibutuhkan di masing-masing tempat kerja ditentukan dan jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat ketelitian suatu pekerjaan, maka akan semakin besar kebutuhan intensitas penerangan yang diperlukan, demikian pula sebaliknya. Standar penerangan di Indonesia telah ditetapkan seperti tersebut dalam Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 7 Tahun 1964, Tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan dan penerangan di tempat kerja. Standar penerangan yang ditetapkan untuk di Indonesia tersebut secara garis besar hampir sama dengan standar internasional. Sebagai contoh di Australia menggunakan standar AS 1680 untuk ‘Interior Lighting‘ yang mengatur intensitas penerangan sesuai dengan jenis dan sifat pekerjaannya. Secara ringkas intensitas penerangan yang dimaksud dapat dijelaskan, sebagai berikut:
1. Penerangan untuk halaman dan jalan-jalan di lingkungan perusahaan harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 20 lux.
2. Penerangan untuk pekerjaan-pekerjaan yang hanya membedakan barang kasar dan besar paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 50 lux.
3. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan yang membedakan barang-barang kecil secara sepintas paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 100 lux.
4. Penerangan untuk pekerjaan yang membeda-bedakan barang kecil agak teliti paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 200 luks.
5. Penerangan untuk pekerjaan yang membedakan dengan teliti dan barang-barang yang kecil dan halus, paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 300 lux.
6. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang halus dengan kontras yang sedang dalam waktu yang lama, harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 500 – 1000 lux.
7. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang yang sangat halus dengan kontras yang kurang dan dalam waktu yang lama, harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 2000 lux.
Tabel Intensitas cahaya di ruang kerja
Jenis KegiatanTingkat Pencahayaan Minimal (lux)KeteranganPekerjaan kasar dan tidak terus-menerus100Ruang penyimpanan dan peralatan atau instalasi yang memerlukan pekerjaan kontinyuPekerjaan kasar dan terus-menerus200Pekerjaan dengan mesin dan perakitan kasarPekerjaan rutin300Ruang administrasi, ruang kontrol, pekerjaan mesin dan perakitanPekerjaan agak halus500Pembuatan gambar atau bekerja dengan mesin kantor, pemeriksaan atau pekerjaan dengan mesinPekerjaan halus1000Pemilihan warna, pemrosesan tekstil, pekerjaan mesin halus dan perakitan halusPekerjaan sangat halus1500
tidak menimbulkan bayanganMengukir dengan tangan, pemeriksaan pekerjaan mesin, dan perakitan yang sangat halusPekerjaan terinci3000 tidakmenimbulkan bayanganPemeriksaan pekerjaan, perakitan sangat halus
Uraian tentang lingkungan kerja fisik tersebut dapat dipertegas bahwa dengan pengendalian faktor-faktor yang berbahaya di lingkungan kerja diharapkan akan tercipta lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan produktif bagi tenaga kerja. Hal tersebut dimaksudkan untuk menurunkan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja sehingga akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
http://www.mercubuana.ac.id/
Sumber Referensi :
Departemen Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 405/Menkes/SK/XI/2002. www.depkes.go.id
Hicks, Charles. Fundamental Concepts in the Design of Experiments.Florida : Saunders College Publishing. 1993.
McCormick,E.J and M.S. Sanders. Human Factor in Engineering and Design. New York : McGraw Hill Book Company, 1994.
Montgomery, Douglas. Design and Analysis of Experiments. New York : John Wiley & Sons Inc. 1991.
Muhaimin. Teknologi Pencahayaan. Bandung: Refika Aditama, 2001.
Nurmianto, Eko. Ergonomi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya : Penerbit Guna Widya, 1995.
Sudjana. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung : Penerbit Tarsito. 1995.
Sudjana. Metoda Statistika.. Bandung : Penerbit Tarsto. 1992.
Suma’mur. Hyperkes Kesehatan Kerja Dan Ergonomi. Jakarta: Muara Agung Dharma Bhakti, 1987.
Sutalaksana dkk. Teknik Tata Cara Kerja. Jurusan Teknik Industri, Bandung : ITB, 1979.
Tarwaka dkk. Ergonomi untuk keselamatan Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta : UNIBA PRESS, 2004.
Wignjosoebroto, Sritomo. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu : Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja. Surabaya : Penerbit Guna Widya, 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar